AGAMA HINDU

Image result for hindu temple

Namun dasar-dasar kebajikan dan beberapa hukum dasar yang diyakini umat Hindu, sekalipun sebagai penganut keyakinan yang berbeza. Mereka melaksanakan hukum tersebut, dengan nama dan sebutan yang berbeda dengan sebutan aslinya, seperti Hukum Kodrat identik dengan Hukum Rta ajaran Hindu, Hukum Karma, dikaitkan dengan Hukum Karma, atau perbuatan yang baik akan menghasilkan pahala, sedangkan perbuatan yang jahat akan ke neraka, dan lain sebagainya.

Terkait dengan masalah itu, tidaklah berlebihan apanila mulai difikirkan oleh para cerdik cendekia, pemuka agama, akademisi, wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat untuk adanya sebuah Pejabat Agama,        Pejabat Pengadilan Agama Hindu, sebagai cikal bakal penerapan Hukum Hindu, yang sangat mungkin dibentuk secara otonom oleh DPRD Propinsi Bali, sebagai turunan dari Undang-Undang Dasar, Undang Undang, mahupun ajaran agama Hindu, sehingga dalam adanya pergaduhan antara umat beragama Hindu berkait dengan kegiatan keagamaan dapat penyelesaian yang baik serta dapat diterima semua pihak.

Hukum ini juga dapat dikembangkan dari Hukum Adat dengan penyesuaian disana-sini. Hukum Hindu yang telah dengan baik diterapkan selama ini secara lokal adalah Hukum Hindu pada masyarakat Hindu Toraja di Kabupaten Mamasa Sulawesi Selatan. Yang sering disebutkan sebagai Hindu Alukta.

Umat Hindu Alukta, memiliki hukum dresta sendiri yang disebut “pangngadaran”, iaitu lembaga hukum yang berasaskan norma-norma Hindu Alukta. “Pangngadaran” kemungkinan besar berasal dari kata “adak”, dimana adak bererti adat. Sebagai hukum agama, maka jenis-jenis susunan, pelanggaran dan saksinya tentu dikeluarkan menurut nilai-nilai agama Hindu Alukta. Selain bersifat sekala juga bersifat niskala (Ferdinanus Nanduq).

Secara sosio-religius, sistem Hukum ini dipimpin oleh seorang tomakaka, yang mengatur strata masyarakat yang  disebut tanak:  iaitu tanak bulawan, tanak bassi, tanak karurung, dan tanak koa-koa. Keempatnya sebagai pendokong Hukum Hindu Alukta. Strata ini dapat diidentikan dengan catur warna yang dikenal dalam Hindu di Bali. Prinsip-prinsip yang dijunjung tinggi lembaga Hukum.

Sebagai sebuah lembaga hukum, pangngadaran terdiri atas lima prinsip hukum, iaitu :

1)    Perinsip zas religius (Lima randanna aluk mangngolo lako dewata). Merupakan Norma-norma yang berlaku bersumber dan bersandarkan pada aluk (ajaran Hindu Alukta). Pelanggaran terhadap norma, dikenakan sangsi bersifat sosial-religius. Berupa sangsi yang bersifat sosial, misalnya membayar denda,  dengan di dalamnya juga ada upaya untuk memelihara dan mengembalikan aluk pada kemurniannya. Terjadinya pelanggaran kemudaian dinetralisir dengan persembahan yadnya.

2)    Perinsip Azas kemanusiaan (Tokabuk botting-bottingna nakendekanni pangngadaran). Orang yang bersalah merasa tersiksa dan menderita  akibat kesalahan. Tetapi dia mempunyai komitmen dalam dirinya untuk: mengakui kesalahan; berjanji untuk kembali ke jalan yang benar: dan diberi pengampunan dan penghargaan atas hak-haknya sebagai warga adak.

3) Perinsip Kaeadilan sejati . (Pangngadaran uppa’batu laulung) . Merupakan prinsip keadilan sejati. Hukum tidak boleh terpengaruh oleh siapa dan apapun, kokoh pada kebenaran. Uppa’batu Laulung artinya memakai batu yang sangat keras.

4)    Perinsip Kesamaan di muka Hukum ( Tolayang tandukna tolenggen palasanna napappai pangngadaran). Merupakan prinsip kesamaan di hadapan hukum. Siapa yang memang “bersalah” (tola yang tandukna tolenggen palasanna) menurut hukum harus dihukum (napappai) oleh lembaga hukum itu sendiri (pangngadaran).

5)    Perinsip Pembinaan ( Totibambang tarakdena anna ukkita bubunganna adak, tuomi tang mate). Merupakan perinsip pembinaan, dimana orang yang bersalah di muka hukum dan kehilangan martabat bila ia menyadari dan menghormati hukum, maka dia patut diberi perlindungan hukum , dikembalikan kemasyarakat untuk melanjutkan kehidupannya. Menghormati hukum bebarti telah menjalankan hukuman yang dijatuhkan lembaga hukum kepadanya.

Pangngadaran merupakan norma-norma hukum yang mengatur setiap orang yang ada di dalamnya, termasuk aparat hukum sendiri. Bahkan lebih luas dari pada masyarakat pada umumnya.

Larangan bagi Pemimpin Agama. Beberapa larangan bagi seorang pemimpin Hindu Alukta dalam kehidupan sehari-harinya diantaranya :

                              (1) Berbuat Zina;
                              (2) Berjudi, sabung ayam;
                              (3) Memikul sesuatu;
                              (4) Memanjat pokok;
                              (5) Dibawah pohon berbuah dilarang menengok ke atas;
                              (6) Korupsi dan memeras rakyat;
                              (7) Menangkap ikan di sungai;
                              (8) Membawa wadah kosong;
                              (9) Terlibat langsung dalam pembagian daging;
                             (10) Menebang pokok setelah musim tanam padi;
                             (11) Menipu dan berdusta;
                             (12) Mengubur mayat. Larangan ini kelihatannya hamper sama dengan beberapa larangan untuk seorang pendeta Hindu di Bali.


Larangan bagi masyarakat umum. Beberapa larangan bagi masyarakat umum diantaranya adalah :
                              (1) Berjudi;
                              (2) Menipu dan berdusta;
                              (3) Berzina;
                              (4) Menebang pohon, merabas hutan setalah musim tanam padi;
                              (5) Menyabung ayam setelah musim tanam padi;
                              (6) Memperbaiki rumah setelah musim tanam padi.

Hukum Hindu Alukta juga mengatur masalah tuduhan yang tidak terbukti/tidak benar/fitnah, pertikaian baik non fizikal maupun fizikal, hingga pembunuhan, pencurian, sengketa tanah atau warisan, termasuk perceraian. Yang jelas. Hukum Hindu Alukta mengatur masalah norma- norma kehidupan masyarakatnya. Hal ini akan dijelaskan selanjutnya dalam kaitannya dengan sangsi hukum.

Sangsi yang diterapkan bagi pelanggar Hukum dapat digolongkan kedalam empat golongan, iaitu :

  1. Sangsi Ringan. Mediasi kedua belah fihak yang berselisih, diibaratkan dapat dilakukan dengan pertemuan makan sirih bersama,  yang bersalah mengakuai kesalahannya dan yang merasa dirugikan memafkannya.
  2. Sangsi Sedang. Sangsi kepada yang terbukti bersalah untuk melakukan acara dengan menyembelih ayam untuk dimakan bersama, dalam acara atau upacara perdamaian.
  3. Sangsi Berat. Bagi yang terbukti bersalah didenda dengan seekor babi untuk upacara perdamaian. Dalam upacara dilakukan pemujaan kepada roh leluhur dan Puang Matua, dalam manifestasi-Nya sebagai Sang Pencipta, dengan harapan agar pihak bersalah tidak mengulangi perbuatannya , dan perdamaian tetap langgeng di masyarakat.
  4. Sangsi Terberat.  Bagi yang terbukti  bersalah didenda seekor kerbau.  Demikian juga dengan Hukum Adat yang berlaku sampai saat ini, di masing masing desa adat di Bali, dilaksanakan berdasarkan awig-awig yang mereka sepakati bersama. Isi hukum adat ini lebih banyak mengatur anggota masyarakat, dikaitkan dengan hak dan kewajibannya sebagai anggota masyarakat desa, yang dikenal dengan Desa Adat. Awig-awig ini juga tidak terlepas dari ajaran agama, sehingga terkadang kita sulit membedakannya dengan Hukum Agama. Secara sepesifik Hukum Adat ini berbeda antara desa yang satu dengan yang lainnya sehingga sulit untuk membahasnya secara umum.


“Wedam upa srnwatas trapu jatubhyam srotra prati purana udaharane jihwac chedo dharane sarira bheda asana sayana wak pathisu sama prepsur dandyah satam”(Gotama Smerti; 12)
   Maksudnya : 
    "Bagi warna sudra (para pekerja) yang ingin mempelajari Weda, supaya berhasil dengan baik yakni dengan mendekatkan pendengarannya mulai dari awal pengertian-pengertian, bahasa dan ucapannya dengan menutup pengaruh dari luar, badan duduk dengan tenang (asana) ditempat belajar dan ucapan diulang-ulang terus menerus sampai akhir.”

Share this:

CONVERSATION

0 comments:

Post a Comment